30HBC19 Hari ke-3 : Makanan Kesyukuran


Hari ke-3 : Makanan Kesyukuran
(Kamis, 3 Januari 2019)

Langit hari ini terlihat cerah. Begitu biru, dengan gumpalan awan putih yang bergerak lambat mengikuti arah angin. Hari ketiga di tahun 2019 ini, dari pagi sampai siang sebagian besar aku lewati dengan aktivitas di kantor.
Waktu berlalu begitu cepat. Tak terasa hari telah gelap. Aku mengetahui ada yang spesial di hari ketiga tahun 2019 ini. Bahwa menu makan malam ini adalah daging.
Tentu bagi anak pesantren, menu daging adalah salah satu menu spesial, karena tidak setiap hari bisa makan daging. Dan hal itu juga berlaku bagi asatidzah. Sehingga wajar, aku berpikir nanti malam bisa makan dengan menu daging untuk pertama kali di tahun 2019 ini.
Saat hendak makan malam, harapan untuk bisa makan daging pertama kali di tahun 2019 ini sirna. Karena ternyata daging sudah habis saat aku datang ke ruang makan asatidz. Memang, kedatanganku untuk makan malam ini waktunya belakangan.
Kenapa belakangan? Karena aku terlebih dahulu menyelesaikan amanah yang membuatku ditempatkan di pesantren ini sesuai dengan integritasku.
Jujur, aku merasa tak pantas jika terburu-buru menikmati fasilitas yang ada di pesantren, entah itu makan, dan yang lainnya, jika amanah yang dipasrahkan kepadaku, hasilnya tak sesuai dengan etos kerja dan prinsip integritasku.
Tak hanya daging yang habis, lauknya pun juga habis. Lantas, apakah aku kecewa dan menyesal karena kehabisan daging? Tidak.
Ini bukan pertama kali aku mengalami hal seperti ini. Ini sudah sering ku alami. Setiap kali aku kehabisan lauk pauk, apalagi saat lagi enak-enak, aku tak pernah kecewa, namun tetap bersyukur.
Setiap kali aku mengalami kejadian ini, saat itu pula aku selalu teringat dengan QS. Ibrahim ayat 7 tentang nikmat dan kesyukuran.
“Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (QS. Ibrahim : 7).
Bicara tentang kenikmatan, aku selalu open mind, berpikir luas dan terbuka.
Di sini, di Ponpes IT Al Hikmah Boyolali, setidaknya aku masih bisa makan dengan nyaman. Sedangkan saudara-saudara yang terdampak Tsunami Selat Sunda akhir tahun 2018 lalu, kondisinya tidak sebaik yang aku alami di sini.
Belum lagi saudara di belahan bumi lainnya. Uighur, Palestina, dan sebagainya.
Itulah alasan kenapa seharusnya aku tetap bersyukur, bagaimanapun kondisinya. Kehabisan daging dan lauk makanan belum lah seberapa dengan kondisi saudara-saudara di tempat lain yang terkena musibah (semoga mereka diberi ketabahan dan rizki yang cukup. Aamiin yaa Allah).
Meski daging dan lauk habis, aku melihat masih ada nasi, serta kuah daging yang banyak. Jadi, aku tetap mengambil nasi dan makan malam di ruangan tersebut.
Untuk membuat menu makan malamku ini tetap lezat dan segar bagiku, aku memperbanyak kuah daging yang masih banyak.
Kenapa sih aku memperbanyak kuah daging agar lezat? Kalau segar mungkin iya. Kalau lezat? Apakah kelezatan kuah daging setara dengan kelezatan daging aslinya?
Ini soal sudut pandang sebenarnya. Prasangka. Baik buruknya atau enak tidaknya sesuatu yang kita alami, itu kan tergantung prasangka kita kepada Allah. Kalau kita berprasangka baik kepada Allah, diri kita juga akan merespon bahwa itu nanti baik.
Sebagaimana sabda Rasul dari Abu Hurairah yang diriwayatkan Bukhari Muslim, "Aku sesuai dengan persangkaan hamba pada-Ku".
Kalau udah berpikir cukup dengan kuah saja makanannya nanti bisa lezat, yaa nanti makan kita terasa lezat. Selama baru dihidangkan. Positive thinking aja.
By the way, aku punya cerita sebuah penelitian. Karena kuah terdiri dari air, air yang ada di sekitar kehidupan ini ternyata bisa merespon apa yang manusia perlakukan kepada air tersebut lho!
Ceritanya, di jurusan kuliahku, Ilmu Kelautan Undip Semarang, sering banget kedatangan tamu dari Jepang. Entah buat kerjasama maupun ngisi kuliah umum. Sehingga jurusanku kental banget dengan nuansa "kejepangan".
Aku juga punya teman perempuan, satu fakultas, dan pernah satu organisasi rohis kampus, dia kuliah S2 di Jepang. Sampai aku nulis cerita ini, dia masih di sana.
Sering banget dia upload foto-foto ketika di Jepang ke Instagramnya. Jadi saat aku lagi stalking di Instagram, sering banget fotonya muncul di timeline dengan segala keindahan Negeri Sakura. Aku kagum sama dia. Saat kuliah S1, dia jadi Mahasiswa Berprestasi alias Mawapres. Keren!
Nah, ada seorang peneliti asal Jepang namanya Professor Masaru Emoto, dari Hado Institute Tokyo. Hasil penelitian yang dia lakukan pada tahun 2003 menunjukkan bahwa air mampu merespon ucapan, doa, prasangka, maupun aktivitas lain yang dilakukan terhadapnya.
Misalnya, saat air dibacakan doa yang baik, ia akan membentuk praktikel kristal air beraturan dan terlihat cantik. Sebaliknya, jika air dibacakan ucapan yang buruk, partikel kristal air yang terbentuk tidak beraturan dan terlihat jelek. Hal itu diketahui melalui metode khusus dengan membekukan air pada suhu tertentu lalu diamati dengan mikroskop.
Hasil penelitian tersebut telah ia jabarkan dalam bukunya berjudul "The Hidden Message in Water". Kalau diartikan kurang lebih "Pesan Tersembunyi dalam Air".
Menjelang akhir tahun 2018 lalu, hasil penelitian Professor Masaru Emoto itu kembali dipresentasikan dalam sebuah seminar di Undip. Dan aku hadir langsung dalam seminar ini.
Ternyata, hasil penelitian ini ekuivalen alias berbanding lurus dengan apa yang telah Islam ajarkan 14 abad lalu. Agar manusia khusnudzon (berprasangka baik), berdoa yang baik sebelum melakukan sesuatu.
Sehingga bukan tanpa alasan, jika ada ustadz atau kyai, yang membawakan air minum sambil dibacakan doa, lalu pasien diminta untuk meminumnya. Karena air minum yang telah dibacakan doa itu bisa meresponnya untuk memberikan energi positif. Sebagai perantara Allah memberikan kesembuhan kepadanya.
Maka dari itu, aku tetap makan meski hanya dengan kuah. Dengan di awali doa dan berprasangka baik, insya Allah makanan ini lezat dan barokah. Setidaknya bisa memberi energi positif untuk melakukan aktivitas.
Akhirnya, aku begitu lahap makan malam dengan menu nasi plus kuah daging ini di atas karpet hijau. Tak ada daging, tak ada lauk. Namun aku tetap memakannya. Bahkan aku sampai nambah sekali lagi.
Karena bagiku, ini adalah makanan kesyukuran. Syukur atas segala nikmat yang Allah berikan, serta wujud penghargaan dan terima kasih kepada bude-bude dapur pondok yang telah memasakkan makanan untuk kami dengan tulus sepenuh hati.
See you next story... ðŸ˜‰
(Bersambung)
By : Aji Kurniawan AP

0 comments: