Kepengurusan Baru, Hindari 'Bongkar Muat' Departemen
Bergantinya tampuk kepemimpinan yang ditandai dengan sebuah reorganisasi,
suksesi, musyawarah besar (mubes), muktamar, atau apapun namanya guna memilih
pemimpin baru, tentu akan diikuti dengan komposisi kepengurusan yang baru pula
didalam struktur bidang/departemen kelembagaan.
Bicara tentang komposisi kepengurusan di bidang/departemen suatu
lembaga, ada satu hal yang ingin saya sampaikan disini, yakni terkait
penyusunan komposisi pengurus departemen selanjutnya, baik pengurus yang
lama/sudah menjabat di organisasi sebelumnya, maupun calon pengurus yang baru
yang dihasilkan dari sebuah open recruitment (oprec).
Dari 2 hal tadi, saya disini hanya ingin membicarakan seputar
pengurus lama. Langsung to do point saja, ada satu “hal” yang sepertinya harus
segera dihilangkan setiap kali dibentuk struktur kepengurusan baru (setidaknya
jika “hal” tersebut masih ada di suatu lembaga. Jika sudah tidak ada, Alhamdulillah. Berarti lembaga tersebut
kaderisasinya jalan).
Apa “hal” yang saya maksudkan disini? Sebenarnya, jika “hal” ini
disebut sebagai budaya atau kebiasaan saya tidak tega karena tidak ingin
men-just langsung & keseluruhan, karena saya juga tidak tahu menahu secara
detail seperti apa kondisi lembaga yang ada di kampus-kampus. Dalam pembahasan
ini, anggap saja ada lembaga “X” yang kita jadikan subject pembahasan kita
disini.
Ada 1 hal yang tidak boleh sampai menjadi kebiasaan di lembaga “X”
ini setiap kali dibentuk kepengurusan baru. Yakni kebiasaan mengganti hampir
seluruh komposisi pengurus dalam suatu bidang/departemen tanpa menyisakan orang-orang
yang sebelumnya pernah menjabat. Keadaan seperti ini saya menyebutnya dengan
istilah “Departemen Bongkar Muat”.
Dalam arti lain, “jangan sampai kepengurusan baru dalam suatu
bidang/departemen adalah orang-orang baru semua”. Kenapa demikian?
Jelas menurut saya kondisi ini sangat amat tidak ‘menyehatkan’ bagi
suatu departemen dan organisasi itu sendiri. Bayangkan saja, jika tiap kali dibentuk kepengurusan baru,
orang-orang yang ada disebuah bidang/departemen adalah orang-orang baru semua,
kepada siapa mereka nanti memperoleh pengajaran, pembelajaran dan bimbingan
tentang bagaimana harus menjalankan proker?
Kemana pula pengurus lama yang seharusnya memberikan ilmu yang
didapat selama hampir setahun kepengurusan kepada adek-adek penerusnya nanti
(kalau udah lebih dari 2 tahun menjabat atau diwisuda serta tetap menjalin komunikasi
tidak masalah, tapi kalau sama sekali tidak mencakup kriteria tadi yang menjadi
pertanyaan)? Apakah hanya diserahkan kepada kepala bidang/departemen baru yang
dipilih untuk menanggungnya sendirian?
Jika kondisinya seperti ini, timbul pertanyaan juga ke mana hasil
pembelajaran & kaderisasi yang dijalankan dalam suatu bidang/departemen selama
setahun sebelumnya?
Malangnya lagi, kalau ada staf yang sudah dibina hampir setahun, pada saat memasuki tahun ke-2 kepengurusan, dia nya malah nggak lanjut. Istilah jawa nya "nelongso" banget pasti senior yang membina.
Itulah mengapa, alangkah baiknya kepengurusan baru dalam suatu
bidang/departemen adalah bukan orang-orang baru semua. Tapi isilah dengan beberapa
orang yang dulunya sudah pernah menjabat. Hal itu dimaksudkan supaya ilmu yang
selama ini didapat oleh senior bisa tersampaikan secara kontinyu kepada
adek-adek kepengurusan baru. Jangan tiap kali kepengurusan baru, semua harus
dimulai dari awal. Kadept/Kabidnya yang baru bingung harus bagaimana, apalagi
stafnya nanti.
Mungkin ada bidang/departemen yang pada awal kepengurusan baru
isinya adalah orang-orang baru semua, dan proker yang dijalankan juga tidak
mengecewakan. Sah-sah aja sih emang. Tapi ingat bahwa orang-orang yang masuk organisasi, tak jarang dari
mereka juga ingin mendapatkan satu hal yang mungkin tidak sempat mereka
utarakan, yakni pembelajaran. Baik berupa ilmu, pengalaman, dan sebagainya.
Jadi di organisasi tidak hanya sekedar berpikir proker terlaksana,
sukses, habis itu sudah, selesai. Bukan. Tidak cukup sampai disitu. Tapi
alangkah mulianya ketika masuk di organisasi, dijadikan sebagai ladang untuk
mengamalkan ilmu yang diperoleh kepada adek-adek pengurus baru, memberikan ilmu
yang bermanfaat kepada generasi penerus. (syukur-syukur menjadi generasi pendobrak
nama lembaga karena berhasil mengamalkan ilmu yang senior sampaikan).
Soalnya kapan lagi kita bisa demikian? Bersyukurlah orang-orang yang
ikut organsiasi. Disitu kita bisa menjalin interaksi membangun, komunikasi
dengan sesama, memiliki punya peran sosial yang lebih dibandingan dengan yang
tidak ikut organisasi. Disinilah miniatur kehidupan kita sebelum benar-benar
terjun ke masyarakat. Maka dari itu manfaatkan kesempatan tersebut semua untuk
menyalurkan & mengamalkan ilmu yang kita dapat. Minimal ada niat dan usaha
untuk itu.
Oleh karena itu, sekali lagi jangan sampai ada kebiasaan “Departemen
Bongkar Muat” dalam suatu lembaga. Karena akan sangat tidak sehat bagi suatu
lembaga ke depannya, dan proses kaderisasi juga akan dipertanyakan.
Tapi jadikanlah suatu organisasi sebagai ladang untuk beramal
mengamalkan ilmu kepada mereka yang membutuhkan. Bicara organisasi bukan
sekedar membahas bagaimana mensukseskan program kerja, tapi juga bagaimana kita
memberikan pembelajaran dan manfaat kepada sesama, minimal lewat ilmu yang kita
peroleh. Karena sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia
lainnya.
Kesimpulannya, jangan gunakan kebiasaan bongkar muat departemen,
tapi yang kita gunakan adalah “pengamalan ilmu” dari senior kepada junior dalam
suatu departemen. Baik senior maupun junior, semoga bisa memahami akan hal ini.
Itulah yang saya sampaikan dalam tulisan kali ini. Semoga bermanfaat
dan semua ini juga menjadi pembelajaran bagi saya dan yang lainnya. Sekiranya
jika ada kalimat yang kurang berkenan dalam menyampaikan sudut pandang ini
mohon dimaafkan.
Sekian, semoga kita bisa menjadi manusia yang bermanfaat bagi
sesama, dan dimudahkan dalam segala urusan. Aamiin….
#JustMyOpinion
Salam
[Photo by falkvingle.net]
(AK21/@AjiiKurniawan)
0 comments: